Saat
menghadiri Indonesia Brand Forum 2013, saya membeli buku “Beat The Giant” karangan mas Yuswohady. Bukunya menarik dan
meng-inspirasi brand-brand asli Indonesia untuk terus maju sehingga bias
menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Well,
saya bermaksud untuk membuat summary tentang apa yang say abaca dari buku “Beat
The Giant” ini. Saya setuju banget sama pendapat mas Yuswohady bahwa
kreatifitas brand-brand asli Indonesia harus terus ditingkatkan agar dapat
bersaing dengan brand-brand asing. Brand-brand asli Indonesia tidak boleh terus
berpangku tangan dan menunggu dibantu oleh pemerintah. Misalkan, Pertamina yang
merengek ke DPR untuk memperbaharui peraturan investasi pom bensin yang
dilakukan oleh perusahaan minyak luar negeri. Pertamina merengek melakukan hal
tersebut karena usaha Pertamina untuk membuka SPBU di Malaysia terhambat oleh
peraturan di Negara tersebut tetapi sebaliknya Petronas dapat membuka cabang
SPBU di Indonesia tanpa menghadapi rintangan yang berarti.
Come
on!! Kita tidak dapat terus menyusu ke Pemerintah. Sifat manja itulah yang
membuat kreatifitas kita berhenti sehingga tidak dapat bersaing dengan
brand-brand asing. Ingat bahwa pada tahun 2015 kita akan bergabung dalam ASEAN
Community dimana akan terjadi peng-integrasian tiga pilar ASEAN yaitu ASEAN
Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Cultural
Community. Selain ASEAN Community. Apabila
kita tidak mempersiapkan diri maka kita akan menunggu hari dimana kita akan
tergilas dengan kekuatan asing.
Dalam
buku “Beat The Giant” ini Mas
Yuswohady mengajarkan kita trik-trik untuk melawan brand-brand asing yang
memiliki banyak keunggulan dibanding dengan brand-brand asli Indonesia. Mas
Yuswohadi merumuskan 4 generic strategies
dengan 2FDE yaitu Flank Focus Dominate
and Expand.
Matriks
tersebut tersusun oleh dua parameter yaitu parameter yang mencerminkan tingkat
kepemilikan terhadap keunggulan local (sumbu vertical) dan parameter yang
mencerminkan kemampuan merek local dalam mencapai kapasitan untuk bersaing
dengan merek-merek asing (sumbu horizontal).
Perusahaan dengan local advantage dibagi
menjadi dua yaitu high local advantage
dan low local advantage. High local advantage adalah perusahaan
yang dapat memaksimalkan keunikan tradisi dan budaya local sebagai kekuatannya.
Contohnya adalah Martha Tilaar yang menggunakan buah-buah asli Indonesia
sebagai bahan dasar kosmetik mereka. Low
local advantage adalah perusahaan yang sulit memaksimalkan tradisi dan
budaya local sebagai kekuatannya. Contohnya adalah Polytron atau Maspion karena
by-default sulitmenggunakan keunikan local sebagai keunggulan.
Untuk
parameter kedua, kapasitas merek-merek Indonesia dibagi menjadi dua yaitu
merek-merek yang memiliki kapasitas global
best practices yaitu merek yang memiliki kapasitas tinggi di bagian modal,
SDM, manajemen, teknologi dan lain-lain, selain itu ada juga merek-merek yang
berada di posisi rendah masih minim modal, teknologi masih rendah, manajemen
yang tradisional.
Berdasarkan
matriks di atas, maka terdapat 4 posisi strategis yaitu smart flanker, local challenger, national champion, dan global chaser.
Smart flanker adalah perusahaan yang
tidak memiliki local advantage dan juga tidak memiliki kapasitas untuk
bertarung secara langsung dengan perusahaan asing. Nah untuk perusahaan yang
seperti ini lebih baik menyinkir atau juga disebut flanking dengan cara
menyasar niche market. Pemain seperti
Ranch Market dan D’Cost adalah perusahaan yang menyasar pasar yang tidak
dilihat oleh perusahaan merek global. Strategi generic pemain di posisi ini
adalah flank dan create your own pond.
Local challenger adalah merek local yang
memiliki keunikan local sebagai keunggulannya tetapi masih belum memiliki kapasitas
yang cukup dalam SDM, manajemen, teknologi, modal dll untuk bersaing dengan
perusahaan asing. Contoh perusahaan yang berada di posisi ini adalah Hotel
Santika yang menggunakan budaya local yang dijadikan konsep layanan. Strategi
untuk local challenger adalah focus on
your local uniqueness.
National champion adalah pemain local
yang memiliki local advantage dan
juga kapasitas seprti modal, manajemen, teknologi, SDM untuk bersaing dengan
perusahaan asing. Strategi yang cocok untuk pemain local di posisi ini adalah dominate domestic market through local
differentiation.
Global chaser adalah pemain local yang by-default tidak memiliki local advantage tetapi memiliki
kapasitas dalam SDM, manajemen, teknologi untuk bersaing secara head to head dengan perusahaan asing.
Strategi yang cocok untuk pemain local di posisi ini adalah expand to global market.
Nah
segitu dulu pembukaan tentang model yang dikembangkan oleh Mas Yuswohady dalam
bukunya yang berjudul “Beat The Giant”.
Di tulisan selanjutnya, saya akan me-review tentang strategi smart flanker J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar