Minggu, 26 Mei 2013

Beat The Giant I - The Model


Saat menghadiri Indonesia Brand Forum 2013, saya membeli buku “Beat The Giant” karangan mas Yuswohady. Bukunya menarik dan meng-inspirasi brand-brand asli Indonesia untuk terus maju sehingga bias menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Well, saya bermaksud untuk membuat summary tentang apa yang say abaca dari buku “Beat The Giant” ini. Saya setuju banget sama pendapat mas Yuswohady bahwa kreatifitas brand-brand asli Indonesia harus terus ditingkatkan agar dapat bersaing dengan brand-brand asing. Brand-brand asli Indonesia tidak boleh terus berpangku tangan dan menunggu dibantu oleh pemerintah. Misalkan, Pertamina yang merengek ke DPR untuk memperbaharui peraturan investasi pom bensin yang dilakukan oleh perusahaan minyak luar negeri. Pertamina merengek melakukan hal tersebut karena usaha Pertamina untuk membuka SPBU di Malaysia terhambat oleh peraturan di Negara tersebut tetapi sebaliknya Petronas dapat membuka cabang SPBU di Indonesia tanpa menghadapi rintangan yang berarti.
Come on!! Kita tidak dapat terus menyusu ke Pemerintah. Sifat manja itulah yang membuat kreatifitas kita berhenti sehingga tidak dapat bersaing dengan brand-brand asing. Ingat bahwa pada tahun 2015 kita akan bergabung dalam ASEAN Community dimana akan terjadi peng-integrasian tiga pilar ASEAN yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Selain ASEAN Community. Apabila kita tidak mempersiapkan diri maka kita akan menunggu hari dimana kita akan tergilas dengan kekuatan asing.
Dalam buku “Beat The Giant” ini Mas Yuswohady mengajarkan kita trik-trik untuk melawan brand-brand asing yang memiliki banyak keunggulan dibanding dengan brand-brand asli Indonesia. Mas Yuswohadi merumuskan 4 generic strategies dengan 2FDE yaitu Flank Focus Dominate and Expand

Matriks tersebut tersusun oleh dua parameter yaitu parameter yang mencerminkan tingkat kepemilikan terhadap keunggulan local (sumbu vertical) dan parameter yang mencerminkan kemampuan merek local dalam mencapai kapasitan untuk bersaing dengan merek-merek asing (sumbu horizontal).
 Perusahaan dengan local advantage dibagi menjadi dua yaitu high local advantage dan low local advantage. High local advantage adalah perusahaan yang dapat memaksimalkan keunikan tradisi dan budaya local sebagai kekuatannya. Contohnya adalah Martha Tilaar yang menggunakan buah-buah asli Indonesia sebagai bahan dasar kosmetik mereka. Low local advantage adalah perusahaan yang sulit memaksimalkan tradisi dan budaya local sebagai kekuatannya. Contohnya adalah Polytron atau Maspion karena by-default sulitmenggunakan keunikan local sebagai keunggulan.
Untuk parameter kedua, kapasitas merek-merek Indonesia dibagi menjadi dua yaitu merek-merek yang memiliki kapasitas global best practices yaitu merek yang memiliki kapasitas tinggi di bagian modal, SDM, manajemen, teknologi dan lain-lain, selain itu ada juga merek-merek yang berada di posisi rendah masih minim modal, teknologi masih rendah, manajemen yang tradisional.
Berdasarkan matriks di atas, maka terdapat 4 posisi strategis yaitu smart flanker, local challenger, national champion, dan global chaser.
Smart flanker adalah perusahaan yang tidak memiliki local advantage dan juga tidak memiliki kapasitas untuk bertarung secara langsung dengan perusahaan asing. Nah untuk perusahaan yang seperti ini lebih baik menyinkir atau juga disebut flanking dengan cara menyasar niche market. Pemain seperti Ranch Market dan D’Cost adalah perusahaan yang menyasar pasar yang tidak dilihat oleh perusahaan merek global. Strategi generic pemain di posisi ini adalah flank dan create your own pond.
Local challenger adalah merek local yang memiliki keunikan local sebagai keunggulannya tetapi masih belum memiliki kapasitas yang cukup dalam SDM, manajemen, teknologi, modal dll untuk bersaing dengan perusahaan asing. Contoh perusahaan yang berada di posisi ini adalah Hotel Santika yang menggunakan budaya local yang dijadikan konsep layanan. Strategi untuk local challenger adalah focus on your local uniqueness.
National champion adalah pemain local yang memiliki local advantage dan juga kapasitas seprti modal, manajemen, teknologi, SDM untuk bersaing dengan perusahaan asing. Strategi yang cocok untuk pemain local di posisi ini adalah dominate domestic market through local differentiation.
Global chaser adalah pemain local yang by-default tidak memiliki local advantage tetapi memiliki kapasitas dalam SDM, manajemen, teknologi untuk bersaing secara head to head dengan perusahaan asing. Strategi yang cocok untuk pemain local di posisi ini adalah expand to global market.
Nah segitu dulu pembukaan tentang model yang dikembangkan oleh Mas Yuswohady dalam bukunya yang berjudul “Beat The Giant”. Di tulisan selanjutnya, saya akan me-review tentang strategi smart flanker J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar